Kamis, 12 September 2013

Sana'khudzu

Sana'khuudzu ma'aarikana ma'ahum

Wa sanamdhi jimuu'an narda'uhum

Wa nu'iidul haqqal mu'tashaba

Wa bi kullil quwwati nad-fa'uhum
Wa bi kullil quwwati nad-fa'uhum

We'll take our fights with them
We'll go as groups to stop them
We'll return our slain rights (territories)
With all force we'll push them out
With all force we'll push them out

Bisilaahil haqqil battari

Sanuharriru ardhal ahraari

Wanu'iidul tuhra ilal qudsi

Min ba'di dh-dhulli wadhal 'ari
Min ba'di dh-dhulli wadhal 'ari

By the weapon of truth 
We'll free the land of the frees
We'll return the pureness of Islam to Al-Quds
After our weakness our humiliation  
After our weakness our humiliation 

Wa sanamdhi nadukkum-ma'aqilahum

Bi dawiyyin daamin yuqliquhum

Wa sanamhul 'ara' bi'ayy-diina

Wa bi kullil quwwati narda'uhum
Wa bi kullil quwwati narda'uhum

We'll carry on bring down their fortresses
With strong sounds that will scare them
We'll erase our humiliation by our own hands
With all force we'll stop them
With all force we'll stop them 


Lan nardha bijuz-in muhtallin

Lan natruka syibral-li dh-dhulli

Satamuurul ardhu Wa tahriquhum

Fil ardhi barakiinun taghli
Fil ardhi barakiinun taghli

We'll never accept a slain part of our lands
We'll never leave out a bit of our land for them to humiliate us with.
The Earth will burst in flames and burn them
In Earth there is volcanoes that are boiling 
In Earth there is volcanoes that are boiling  


for my Filisthiin 
11.1.11

Rabu, 28 Desember 2011

Menghitung korek api


Jika bicara tentang hemat, saya jadi teringat pada Kakek. Menurut cerita Ibu, Kakek adalah seorang pedagang sekaligus petani sukses. Beliau menjadi orang terkaya di kampung waktu itu. Tapi, meskipun kaya raya, Kakek jarang memberi uang jaajn berlebih pada anak-anaknya. Dan Beliau sangat marah jika ada barang yang terlalu cepat habis. Pelit, kata anak-anaknya. Orang-orang di kampung pun, banyak yang menganggap Kakek pelit, karena Kakek seringkali marah pada Nenek yang, menurut Kakek, terlalu murah hati membagi-bagi makanan pada orang-orang sekampung. Rumah yang nyaman dan berstatus sebagai satu-satunya rumah batu di kampung saat itu, menjelma menjadi tempat persinggahan, istirahat, melepas lelah, bahkan mengadukan asap dapur.
Sesungguhnya –sedikit orang yang menyadari-, Kakek tidak bermaksud pelit. Hanya cermat dan penuh perhitungan. Kakek tidak mau anak-anaknya menjadi anak-anak yang malas, manja, dan bisanya hanya bergantung pada orang tua. Kakek juga tidak suka bila warga kampung menjadi pribadi-pribadi pemalas yang mengandalkan orang lain. Inilah maksud Kakek yang salah dimengerti orang-orang. Ada dua pesan Kakek yang selalu diingat Ibu. Yang pertama, dalam suatu rumah, jangaaan sampai, jangan sekali-kali, betul-betul kehabisan garam dan beras. Waktu itu Kakek tidak menjelaskan panjang lebar, namun sekarang Ibu memahami maksud Kakek.
Dua hal tersebut, garam dan beras, adalah barang pokok dalam memenuhi kebutuhan pangan. Kita selalu membutuhkan keduanya. Hingga ketika habis (padahal kita sedang memerlukan), kita terpaksa meminta pada tetangga atau orang lain. Mental peminta dan bergantung pada orang lain inilah yang harus dilenyapkan. Sebab ini yang mengikat manusia, bangsa Indonesia khususnya, dalam lubang kemiskinan. Yang kedua, hidup ini mesti penuh perhitungan, kata Kakek. Bahkan korek api pun harus dihitung. Ibu, yang ketika Kakek menyampaikan itu masih kecil, hanya tertawa dalam hati mendengarnya. Seperti orang kurang kerjaan, korek api saja dihitung, batin Beliau.
Tapi ternyata, sebagian warga di kampung saat itu, memang menhitung korek api! Artinya, mereka berusaha menggunakan seefektif mungkin. Sehingga bisa terjadi, dalam satu hari hanya habis sebatang korek api. Caranya, sebelum menyalakan sebatang korek api, diperkirakan dan direncanakan, apa saja yang akan dilakukan dengan sebatang itu. Memasak dulu, misalnya, atau membakar sampah. Jika memasak, apa dulu yang harus dimasak, dan seterusnya. Bahkan ada yang mensiasati dengan menggunakan pelita yang sumbunya dibuat sekecil mungkin. Pelita ini dimaksudkan untuk menyimpan api, sekaligus sebagai penerang ketika malam. Ada juga yang membuat arang, lalu ditutup dengan sekam. Jika butuh api, tinggal mengorek sekam dan meniup arang. Inilah metode “menghitung korek api” yang diaplikasikan orang-orang tua dulu.
Padahal, korek api waktu itu pun, belum termasuk barang langka ataupun mahal. Namun mereka menghargai tiap batang yang terbuang. Seharusnya kita lebih prihatin, khususnya terhadap BBM. Mengingat BBM (dalam hal ini, minyak bumi), adalah sumber daya yang dibutuhkan di seluruh dunia dalam jumlah besar, sedangkan stoknya di Bumi bukan tanpa batas.
Sesungguhnya ini adalah masalah mental.
Bangsa ini belum tergolong baik dalam hal menghargai. Murid yang mencontek pekerjaan temannya, ia tidak menghargai usaha orang lain. Remaja yang menghabiskan waktu tanpa guna, alangkah tidak menghargai pahlawan pejuang kemerdekaan, yang berjuang mengorbankan jiwa raga demi kebebasan yang bisa kita nikmati. Pelanggaran aturan yang terus menerus terjadi, artinya tidak menghargai si pembuat aturan dan aturan itu sendiri. Dikaitkan dengan masalah BBM, kita seringkali tidak menghargainya. Menggunakan sesuka hati, tak jarang untuk hal yang tidak atau kurang bermanfaat. Padahal, menurut saya, seharusnya kita menghargai minyak bumi tak jauh beda dengan menghargai sebuah nyawa. Sebab, seperti halnya nyawa, kita tak bisa membuat minyak bumi. Setiap tetes yang terbuang takkan mungkin kembali lagi.
Oke, anggaplah ini terlalu berlebihan. Tapi fakta bahwa “tidak menghargai” adalah wabah yang menimpa rakyat Indonesia, saya rasa tidak berlebihan. Mengapa banyak orang membuang sampah sembarangan, korupsi masih meraja lela, tindak criminal di mana-mana, semua itu adalah refleksi sikap tidak menghargai. Jadi, jelas, ini masalah mental. Dan jelas, orang-orang dulu yang mengamalkan prinsip “menghitung korek api” (minimal kakek saya), sudah lebih dulu mengetahui pentingnya membangun mental.
Tanpa kita sadari, banyak hal kecil di sekitar kita yang sebenarnya berpengaruh besar dalam membentuk kepribadian atau mental kita. Kedua nasehat Kakek di atas (yang terkesan remah dan konyol) tentu bertujuan menyorot mental. Mengenai nasehat yang pertama, saya rasa sudah cukup jelas. Memupuk perasaan “memiliki” dengan terus menjaga stok kebutuhan pokok di rumah otomatis menjauhkan kita dari perasaan “tidak punya” yang mana perasaan seperti ini bisa menjadi sugesti yang mungkin terwujud dalam kenyataan. Nah, mengenai yang kedua,.. orang yang membiasakan diri menghitung korek api akan terbiasa melihat lebih jauh ke depan dan merencanakan dengan sistematis. Jika hal kecil seperti korek api saja diperhatikan, apalagi untuk yang lebih besar dan lebih penting. Menghitung korek api juga berarti berlatih mengurutkan skala prioritas. Jika kita membiasakan siakp seperti itu, walau bukan betul-betul menghitung korek api, tentu menghemat tak lagi jadi persoalan rumit.
Membangun mental. Inilah yang harus dilakukan jika mengharap perbaikan negeri. Apalah artinya menaikkan gaji, tunjangan hidup, atau apapun istilahnya, tanpa memperbaiki mental. Jika diprediksi kenaikan gaji polisi akan memperbaiki kinerja pelayanan pada masyarakat, misalnya, saya katakan: salah besar, jika tak diiringi perbaikan mental. Jika diperkirakan memperbesar tunjangan anggota dewan akan membuat mereka semakin memikirkan rakyat, sekali lagi, tanpa perbaikan mental, saya akan tertawa seperti mentertawakan lelucon paling konyol. Selama belum dihilangkan mental-mental pencuri, rakus, pemalas, semua hanya akan menjadi omong kosong. Dengan mental yang masih anjlok, memberi materi berlimpah sama sekali bukan solusi. Justru, semakin kaya, orang akan semakin rakus. Semakin tahu bagaimana menghabiskan uang. Semakin mengerti cara memanjakan diri. Dan tentu, akan semakin tamak, mengharap materi lebih banyak lagi. Itulah pentingnya membangun mental. Bagai akar yang menentukan kokohnya sebuah tanaman. Saya tidak berani menjamin keberhasilan alternative lain, yang tidak menyertakan pembentukan mental. Oleh karena itu, saya memilih untuk membahas masalah mental, bahkan untuk tema BBM.
“Menghitung korek api” adalah ilmu dari para pendahulu, yang terbuang. Begitu pula, banyak ilmu-ilmu lain yang seringkali, bahkan lebih baik dari solusi modern. Ilmu pertanian, medis, tata boga, tata busana,.. mungkin masih bisa kita ingat, bagaimana ketika sakit cacingan, Nenek di kampung segera membuatkan rujak dengan pepaya muda. Ketika menanam ubi, Kakek, dengan ilmu perkebunannya, sukses menghasilkan ubi sebesar semangka. Belakangan ini kita dihebohkan oleh berita kentang seukuran durian monthong. Tapi Kakek telah lebih dulu berhasil melakukannya, puluhan tahun silam. Ini adalah fakta tentang orang kampung yang seringkali dianggap ketinggalan jaman. Kita begitu bangga dengan sebutan manusia modern hingga rela kehilangan ilmu-ilmu yang sangat berharga, baik ilmu fisik maupun moral. Padahal nyatanya, dengan modernitas yang kita usung tinggi-tinggi tak menjadikan kita lebih baik dari orang-orang terdahulu. Manusia zaman sekarang bahkan dicap mengalami keterlambatan pendewasaan. Ah, sekiranya kita tak terlalu sibuk mengejar-ngejar perkembangan zaman yang takkan ada habisnya, dan bersedia mengingat kembali ajaran orang-orang sebelum kita, Bumi yang nyaman dihuni tak lagi sebatas impian. 
Sedikit menambahi, saya ingin mengingatkan kembali bahwa Allah tak main-main ketika menciptakan manusia. Bahkan orang atheis pun meyakini, manusia tercipta terakhir, setelah seluruh semesta disiapkan baginya. Yang ada di Bumi, baik di atas permukaan, maupun di bawah tanah, seluruhnya adalah untuk manusia. Seluruhnya! Bahkan “penyambutan” ini memakan waktu ratusan juta tahun, jauh melebihi kita menyambut presiden manapun. Salah satunya adalah minyak bumi. Tentu bukan tak sengaja Allah pendam tulang-belulang demikian lama hingga menjadi minyak yang sangat kita butuhkan. Sebelum manusia dijadikan penghuni dan pemimpin Bumi, Allah telah mempersiapkan segala fasilitas untuk memudahkan penghidupan dan menjalankan kepemimpinannya. Fasilitas yang masih sangat sering disalah gunakan. Ya, Allah tak pernah main-main dalam penciptaan manusia. Manusianya saja yang suka bermain-main dengan sang Pencipta.

Bontang, 8 Desember 2008

Penulis Karangan Mengarang Tulisan

Kau belum juga mulai menulis? Jangan begitu… Aku sudah mulai berpikir dari tadi. Perintahnya menulis, bukan berpikir! Bedakan, dong! Ya, ya. Cepatlah! Mengapa aku harus terburu-buru? Sebab waktu dua jam akan segera habis. Hah? Dua jam?! Bagaimana bisa aku menulis dalam waktu sesingkat itu? Bisa saja. Emha Ainun Nadjib saja menyanggupi lima tulisan tentang sepak bola dalam waktu kurang dari dua jam. Tinggal mengimajinasikan pemetaan dimensi, katanya, memperluas lapangan bola menjadi lapangan nilai, menentukan sudut-sudut, dan jadilah! Lucu sekali. Kau menyandingkan aku dengan penulis yang seolah huruf-huruf telah mengaliri tiap sel tubuhnya, dan di otaknya ada buku yang terbuka yang tinggal ia salin ke atas kertas. Aku jadi merasa terhormat. Sekarang bukan waktunya untuk itu, jawabnya dengan nada tak sabar. Ayo, menulis! Apa yang harus kutulis? Apa saja! Temanya bebas. Menulis tak segampang itu, kataku setelah, lagi-lagi, tercenung lama. Perlu kuberi contoh lagi? Gus Dur bisa menyelesaikan tulisannya yang dulu biasa dimuat di majalah Tempo sepanjang perjalanan pesawat Jakarta – Singapura. ‘Aidh al-Qarni juga begitu. Mereka biasa menulis. Pena mereka telah lancer menari. Lalu, mengapa kau pun tidak membiasakan menulis? Aku tidak tahu aka nada ujian seperti ini. Guru-guru juga jarang member tugas menulis. Jadi kau menunggu perintah, baru bergerak? Menunggu terdesak, baru berlari? Kalau begitu, apa bedamu dengan hewan? Atau kau robot yang diatur-atur orang lain? Bukan begitu. Bukankah kita bisa menuangkan isi pikiran jika memang ada isinya? Dan orang-orang yang lancer menulis, tentulah karena penuhnya otak mereka, hingga meluber ke mana-mana. Hoo.. Jadi kau mau bilang bahwa otakmu kosong? Aku tidak menghiraukan. Mengapa perlu ada ujian mengarang, sedang kita tidak dibiasakan sebelumnya? Apa keahlian bisa jatuh dari langit? Bukankah tujuan sekolah adalah pembiasaan hal-hal baik? Jika tidak, apa artinya nilai 100 yang kelak hanya untuk ditumpuk di gudang, menunggu untuk dibuang? Mengapa siswa-siswi bukan diperintahkan menulis sebanyak-banyaknya, dan bukan secepat-cepatnya? Bagaimana bila diberi tenggat waktu untuk menyelesaikan sekian tulisan, bukankah itu akan membuahkan tulisan yang lebih bermutu? Itu teorimu, bantahnya. Nyatanya manusia suka keterdesakan dan gemar menyia-nyiakan waktu ketika luang. Ahh… Mengapa harus ada Ujian Nasional Praktik Mengarang? Kau heran? Tidakkah kau lihat, bangsa ini sangat menyukai mengarang. Nilai-nilai dikarang. Nama-nama, angka-angka, bahkan waktu pun dikarang! Kalau kau melihat angka 2 jam tertera di jadwal, jangan lekas percaya. Sebab, manusia Indonesia menguasai waktu. Bisa ia ulur panjang-panjang ataupun pendek-pendek. Proyek karangan. Anggaran karangan. Pidato karangan. Aku memutar otak. Cerewet sekali, dia. Seolah-olah ia bisa menulis lebih baik dariku. Kau bicara saja dari tadi, memangnya kau bisa menulis? Ha! Itulah manusia! Senyum mengejeknya naik dari bibir hingga mata. Ditanya, tidak tahu. Diberi tahu, tidak mau tahu. Diutus Rasul, minta malaikat. Nanti, kalau diturunkan malaikat, tidak mau percaya pula. Diceramahi Presiden, mengomel dalam hati, “Iya, kau enak! Tidak merasakan hidup susah. Kebutuhan hidup semakin mahal.” Orang miskin angkat bicara, balas menyahut, “Jangan naïf!” Pak Kyai memberi nasihat, beralasan, “Beliau memang manusia muli, calon penghuni surga. Tidak bisa kita meniru tindak-tanduk Beliau.” Sekali temannya berucap, segera dibantah, “Kau sesama pendosa, jangan omong besar! Sok suci!” Aku jadi takjub mendengar kata-katanya. Sebegitu jauh pemikirannya. Kau ini… siapa? Kau baru menanyakanku. Aku ini bisa siapa saja.aku bisa harimau, aku bisa langit. Aku bisa cicak, ataupun buaya. Aku bisa pejabat ataupun tikus. Aku bisa presiden, bisa burung beo. Aku bisa apa saja! Mengapa begitu? Sebab kau sedang mengarang dan aku adalah karanganmu. Maka aku tidak terbatas lingkup dimensi ruang. Bukankah sudah kubilang,… Tunggu! Aku memotong. Kalau begitu, tugasku sudah selesai. Ia terdiam. Bukankah tugasku saat ini adalah mengarang, dan kau bilang kau adalah karanganku. Bisa dikatakan, aku telah melaksanakan tugasku. Benar, bukan? Ia tak menjawab. Hingga waktu yang lama, suaranya tak lagi terdengar. Kelihatannya sekali ini aku benar. Kelas sudah mulai sepi. Tinggal beberapa siswa yang dari mulutnya riuh terdengar suara hitungan. Pasti menghitung jumlah kata agar mencukupi batas minimal. Aku tak perduli. Sebentar lagi lonceng sekolah berbunyi, dan tugasku sudah selesai. Senin, 29 Maret 2010 Rifi Adzkia

Sabtu, 03 Desember 2011

karyaku


Kaki-kaki mungilnya melangkah lincah antara
mengejar kepingan rupiah
dan mengelakkan aspal membara
Tidak ada sandal pembatas lara
tidak ada payung penaung hawa
yang ada hanya kotak tisu dengan karet gelang
di tengah
ia petik sesuka, menemani menjual suara

Tidak! Orang tuanya bukan tiada
hanya saja jerih payah mereka belum mampu
menutupi dahaga
adik bayinya yang tumbuh dengan air gula

Kaca mobil menutup angkuh
pengendara motor mendadak buta tuli
suara klakson membahana sana sini

di perempatan lampu merah

ia seringkali ingin menyerah
tapi ia tahu, tidak boleh kalah!
biar lelah, tetap mencari nafkah

agar adiknya mencecap susu yang baginya mewah
agar sakit ayahnya tidak bertambah parah
agar ia bisa tetap sekolah, dan ..
agar hidupnya tidak sia-sia


-10 Agustus 2011

puisi ini (kalau bs disebut puisi) tadinya dicipta utk mengikuti lomba 
tapi krn 1 dan lain hal, akhirnya karya ini tak pernah dikirim

Sederhananya Cintaku (Seorang Ibu)


cintaku padamu sederhana saja, Nak
tak perlu diwakili kata-kata
bukan karena takut dusta
tapi sebab tak ada yang setara

cintaku sama bisikan sunyi
bukan antara hati, tapi.
melainkan bisik doa yang kupanjatkan
menyebut namamu setiap malam

cintaku padamu sederhana saja, Nak
mengisi ingatan dengan namamu,
hingga ubun-ubun dan kulitku
(ya, sebab bukankah darahmu adalah dariku?)
sebatas mengisi dan tak peduli
adakah hati di sana sama mencintai

cintaku padamu sederhana saja, Nak
sesederhana air mata yang masih saja menjadi bahasa
sesederhana waktu yang terus saja berlalu
(pernahkah waktu peduli pada mereka yang tak menghargai?)
sesederhana awan yang menurunkan hujan
di bumi utara maupun selatan
di pantai ataupun pegunungan
sesederhana senyuman yang selalu ingin kupersembahkan

di mataku, selalu saja kau yang rupawan
kau terhebat tiada tandingan
ingin kubanggakan bagai pangeran

namun bila kenyataan tak cukup sejalan
rasa cintaku tidaklah hilang
tak berhenti ku ingin mengayomi
hingga hilang dukamu nanti

cintaku padamu sederhana saja, Nak
tak perlu kau bertanya kenapa
cukup karena kau telah ada
itulah maka aku cinta


Jumat, 26 Agustus 2011
-the way I feel be loved by Mother

sederhananya cintaku


cintaku padamu sederhana saja
sebatas mengisi ingatan dengan namamu,
tapi tidak memenuhinya
sekedar meminjamkan hati,
tapi tidak menyerahkannya
(maaf, sebab hati ini bukan milikku)

cintaku padamu sederhana saja
tak terurai dengan kata
sebab bisa saja ia dusta
hanya bisikan sunyi antara hati
yang berusaha selalu memahami
tidak takut untuk kehilangan
(ya. mengapa .. sedang kau bukan pula milikku)

cintaku padamu sederhana saja
seperti alam yang patuh pada kehendak sang Pencipta
seperti langit yang masih saja menaungi bumi
seperti air yang masih setia mengalir
seperti laut yang bertahan dengan kedalaman
seperti pelangi
yang hadir menemani mentari
setelah hujan pergi


Ahad, 21 Agustus 2011

-kata-kata yang muncul begitu aja, ga tau kenapa, ga tau dari mana

corat coretku


mau ke mana, Nak?
di luar, malam 'lah larut
purnama menggantung di ujung ufuk
gelap malam menyergap
sedang langkahmu terus berderap.
Ke mana, Nak?
kau susuri jalan dengan kedua kaki yang kau sangka kokoh
kau terabas gulita dengan mata yang kau kira waspada
tak kau hiraukan kantuk menggelayut
atau pakaianmu yang butut.
Apa yang kau cari?
sedang siang telah berlalu
dan malam bukan milikmu.
Istirahat.. Istirahatlah, Nak..
siapkan diri hadapi
hari esok yang pasti
walau kau tak ingin berhenti
tapi keniscayaan tak dapat dihindari
tubuhmu akan terjatuh tak berdaya
matamu akan terpejam seiring malam.
Istirahatlah..
siapkan diri yang pasti
agar tak tertatih menyambut pagi.

bukankah subuh itu dekat?

-Mei 2010
renungan dari perjalanan